Menteri PAN-RB Akan Bubarkan Dewan Pers, Komisi Informasi, dan Komisi Penyiaran?

Menteri PAN-RB Akan Bubarkan Dewan Pers, Komisi Informasi, dan Komisi Penyiaran?

Bacaan Lainnya

Tjahjo Kumolo. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Oleh: Hendra J Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

PENA-EMAS.COM. Dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo mengatakan pemerintah akan membubarkan sejumlah lembaga negara atas alasan merampingkan birokrasi.

Lembaga negara yang dimaksud nampaknya lembaga independen yang dibentuk dengan Undang-Undang (UU) dan masuk kelompok Lembaga Negara Non Struktural (LNS).

Menurut Menteri PAN-RB, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saja punya tiga lembaga yang dibentuk UU, dan ini sedang dikaji untuk dibubarkan.

Sekadar informasi, Indonesia punya banyak LNS yang dibentuk UU, di antaranya: KPK, KPU, Bawaslu, Komisi Informasi, Komisi Penyiaran, Dewan Pers, dan lain sebagainya.

Sepanjang pengetahuan penulis, Kominfo memang memiliki tiga lembaga kuasi independen yang dibentuk melalui UU dan masuk ke dalam kelompok LNS.

Lembaga kuasi independen? Ya, lembaga tersebut memiliki independensi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai amanah UU tanpa dapat diintervensi oleh Kementerian Kominfo. Namun demikian, dukungan kesekretariatan, SDM sekretariat, dan dukungan keuangan dilakukan oleh Kementerian Kominfo. Sekretariatnya dipimpin pejabat struktural eselon II yang disebut  Sekretaris yang diangkat dan diberhentikan Menteri.

Sementara Komisionernya dipilih melalui proses seleksi terbuka untuk periode jabatan tertentu dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Ketiga lembaga kuasi independen Kominfo yang dibentuk UU itu:

• Dewan Pers yang bertugas untuk menjamin dan mengawal kemerdekaan pers sebagai pilar keempat demokrasi berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;

• Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas sebagai pengawas penyiaran Indonesia (televisi maupun radio) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

• Komisi Informasi yang bertugas memastikan seluruh Badan Publik (pusat dan daerah) dikelola dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan memastikan Hak Asasi dan Hak Konstitusional masyarakat atas informasi dipenuhi.

Sebagai informasi tambahan, dua lembaga di antaranya, proses pengisian Komisioner melalui proses fit and proper test di Komisi I DPR RI sebelum ditetapkan dengan Kepres (KI Pusat dan KPI) dan juga ada di tingkat provinsi. Sementara Dewan Pers tanpa melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR dan juga tidak ada di tingkat provinsi.

Penulis tidak tahu, mana di antara ketiga lembaga di atas yang sedang disasar untuk dibubarkan oleh Menteri PAN-RB: Semuanya, salah satu di antaranya, atau salah dua di antaranya.

Atau ada lembaga lain di lingkungan Kementerian Kominfo yang dibentuk UU selain ketiga lembaga di atas yang menjadi sasaran pembubaran Menteri PAN-RB yang penulis tidak ketahui? Kalau memang ada, maafkanlah penulis yang kurang pengetahuan ini dan sudah berpikir yang bukan-bukan.

Namun ada tiga pertanyaan dalam diri penulis jika memang sasarannya adalah lembaga yang penulis jelaskan di atas.

Pertama

Apakah demi perampingan birokrasi harus dengan mengorbankan kemerdekaan pers yang merupakan amanah reformasi? Apakah demi menghemat anggaran sekitar Rp 45 miliar yang merupakan kisaran anggaran Dewan Pers harus dengan mengorbankan kemerdekaan pers Indonesia yang diraih dengan susah payah bermandi darah dan keringat pejuang-pejuang reformasi?

Kalau dikatakan pembubaran Dewan Pers tidak akan mengganggu kemerdekaan pers, lantas bagaimana bentuknya? Apakah bentuknya seperti Dewan Pers masa Kementerian Penerangan di mana Ketua Dewan Pers dijabat langsung oleh Menteri?

Kedua

Apakah demi perampingan demokrasi harus dengan membubarkan Komisi Penyiaran? Lantas bagaimana pengawasan terhadap isi penyiaran yang tiap waktu seolah makin jauh saja dari nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia?

Seperti, kasus terakhir yang sangat heboh, sinetron dengan pemeran anak perempuan umur 15 tahun sebagai istri ketiga yang begitu mengkhawatirkan publik. Siapa yang akan mengawasi keliaran industri penyiaran Indonesia yang sangat komersil tersebut?

Apakah demi penghematan anggaran negara sekitar Rp 66 miliar yang merupakan kisaran anggaran Komisi Penyiaran akan mengorbankan pengawasan terhadap isi siaran televisi dan radio yang demikian besar pengaruhnya pada jati diri dan kepribadian bangsa tersebut?

Kalau tidak demikian maksudnya, bagaimana model pengawasan penyiaran Indonesia pasca Komisi Penyiaran Indonesia dibubarkan? Diserahkan ke lembaga non independen?

Ketiga

Apakah demi perampingan birokrasi harus dengan mengorbankan Hak Asasi dan Hak Konstitusional seluruh warga negara Indonesia atas informasi yang merupakan amanah langsung Amandemen II yang melahirkan Pasal 28F UUD NRI 1945?

Bukankah hak atas akses informasi merupakan pintu gerbang utama membangun pemerataan kesejahteraan masyarakat indonesia?

Bukankah ketertutupan informasi merupakan awal dari ketidakadilan kesejahteraan ekonomi, kesejahteraan lahir dan batin sekitar 270 juta rakyat Indonesia.

Bukankah ketertutupan informasi merupakan awal dari merajalelanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme? Bukankah praktik KKN ekonomi dan sumber-sumber kekayaan tersebut diawali dengan KKN informasi yang melingkupinya?

Apakah semua itu akan dikorbankan atas nama perampingan birokrasi? Dan demi menghemat anggaran negara Rp 38 miliar yang merupakan kisaran anggaran Komisi Informasi Pusat?

Atau, sekali lagi, seperti harapan penulis, bahwa penulis salah memahami pernyataan Menteri PAN-RB. Bukan ketiga lembaga kuasi Kementerian Kominfo yang dibentuk berdasar tiga UU berbeda tersebut yang dimaksud Menteri PAN-RB yang menjadi sasaran pembubaran.

Kalau demikian, sekali lagi, mohon maaf sebesar-besarnya atas kekurangan wawasan penulis sehingga tidak tahu ada lembaga yang terkait Kementerian Kominfo yang dibentuk oleh UU lain, mungkin Menteri PAN-RB bisa menjelaskannya.

Bagi penulis, kemerdekaan pers, pengawasan penyiaran, dan hak masyarakat atas informasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dikompromikan, harus dijaga dengan bak mutiara langka yang sudah ada di atas rumah kita bernama rumah Indonesia. Sehingga dan oleh karena itu sudah seharusnya dikawal oleh sebuah lembaga independen agar terlepas dari segala kepentingan masyarakat itu sendiri.

Atau mungkin yang dimaksud Menteri PAN-RB, Pak Tjahjo Kumolo, bukan pembubaran, namun pengintegrasian? Kalau pengintegrasian, hampir pasti penulis sepakat dan sangat mendukung.

Atau ada pandangan lain? Penulis terbuka dan siap untuk diskusi konstruktif.

PPWI Dukung Pembubaran Dewan Pers

Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) sangat mendukung rencana Pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) tentang rencana pembubaran Dewan Pers bersama beberapa lembaga lainnya [1]. Di samping sebagai upaya penghematan anggaran negara, langkah itu dinilai amat strategis karena fakta lapangan menunjukkan bahwa Dewan Pers selama ini tidak memberi kontribusi bagi terwujudnya tujuan pembentukan lembaga tersebut

Penegasan itu disampaikan Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, kepada pewarta media ini ketika dimintai pendapatnya tentang rencana Pemerintah RI melikuidasi beberapa lembaga/badan yang selama ini dibiayai dengan anggaran negara. “Singkat saja yaa, saya dan PPWI mendukung 1000 persen pembubaran lembaga-lembaga itu, terlebih khusus Dewan Pers, lebih cepat lebih baik,” kata alumni PPRA-48 Lemhannas RI Tahun 2012 itu, Rabu, 9 Juni 2021.

Selama ini, lanjut Lalengke, Dewan Pers bukan menjadi pengembang kemerdekaan pers sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999. “Tujuan dibentuknya Dewan Pers itu adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Nah, yang terjadi justru sebaliknya, lembaga yang saat ini dipimpin oleh seorang professor doktor itu malah menjadi penghambat utama kemerdekaan pers,” ungkap tokoh pers nasional yang getol membela para wartawan grass root ini, serius.

Bahkan dalam banyak kasus, katanya lagi, Dewan Pers berubah fungsi menjadi anjing penjaga alias backing para oknum penguasa dan pengusaha hitam yang selalu mengancam dan memenjarakan wartawan yang mengkritisi kebobrokan para oknum tersebut. “Kasus kematian wartawan media kemajuanrakyat.co.id, Muhammad Yusuf, pertengahan tahun 2018 di penjara Kota Baru, Kalimantan Selatan, akibat pemberitaan yang dibuatnya tentang ketidak-berdayaan masyarakat lokal terhadap kesewenang-wenangan pengusaha hitam Haji Isam, yang di-back-up oleh Dewan Pers, adalah pengalaman pahit bagi pers Indonesia yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah Pers Indonesia [5],” beber Wilson Lalengke yang sempat memimpin pergerakan unjuk rasa damai ribuan wartawan dari berbagai pelosok nusantara ke gedung Dewan Pers pasca kematian Muhammad Yusuf tersebut.

Soal dugaan korupsi yang dilakukan para oknum di Dewan Pers telah pula dilaporkan ke pihak berwajib. Ini juga harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah agar uang negara bisa diselamatkan dan digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. “Sebenarnya terlalu banyak kebijakan dan perilaku para oknum lembaga Dewan Pers yang perlu dibeberkan sebagai alasan untuk pembubaran lembaga pembungkam pers itu. Silahkan di-google masing-masinglah yaa. Banyak tulisan kawan-kawan, termasuk analisis kritis terkait keabsahan kepengurusan Dewan Pers yang sudah dipublikasikan oleh TVRI beberapa waktu lalu [6]. Silahkan cari sendiri,” tutup mantan Kepala Sub Bidang Program pada Pusat Kajian Hukum Sekretariat Jenderal DPD-RI itu mengakhiri. (Arq/APL/Red)

Tetap Terhubung Dengan Kami:

Pos terkait